Oleh :
Dr H Rachmat Sumantri
Nasrullah Idris
MEMBAWA makanan untuk pasien yang dilakukan para pelayat, sesungguhnya bernuansakan solidaritas dan kepedualian. Padanya terkandung ungkapan pengertian terhadap gangguan fisik yang kebanyakan berkonsekwensi berupa perubahan aktivitas monumental sehari-hari, yaitu selera. Karena mereka pun bisa membayangkan bila hal serupa menimpa dirinya, timbul keinginan untuk mengurangi penderitaan kerabatnya. Antara lain dengan barang yang kiranya menunjang proses penyembuhan.
Demikianlah inti latar belakangnya, yang kemudian terapresiasikan secara berkesinambungan, sehingga kini menjadi sebuah tiang peradaban masyarakat di berbagai pelosok bumi, terutama yang tingkat kekeluargaannya masih sangat tinggi seperti Indonesia.
Terlebih hasil tataboga dewasa ini semakin beragam, seiring meningkatnya perkembangan teknologi industri yang berorientasi pertanian dan perternakan, yang dengan otomatis meningkatkan apresiasinya.
Tetapi, seperti yang tampak di berbagai rumah sakit, banyak makanan tidak bisa dimakan karena termasuk pantangan penyakit, di samping sebab lainnya. Mendingan bila ada pihak lain menggantikanya. Bagaimana bila tersimpan terus sampai basi ? Terpaksa dibuang.
Berarti itu salah alamat. Dengan maksud meringankan penderitaan,
sesungguhnya pelayat telah menyodorkan bibit penyakit. Syukur-syukur pasien mengerti dan konsisten dengan pantangannya. Bila sebaliknya, sama saja dengan memperlambat proses pengobatan dirinya, bukan ?
Sering ditemukan kasus seputar itu. Kita ambil contoh dari pengalaman seorang penderita diabetes
Saking terharu atas kunjungan sahabat kentalnya, toleransi salah kaprah pun muncul. Hanya untuk menyenangkan mereka, rayuan untuk mencicipi kueh tart bawaan mereka tidak bisa ditolaknya.
Sehari kemudian dosis suntikan insulin terpaksa ditambah, karena pada pemeriksaan esok pagi diketahui kadar gulanya kembali kumat. Sehingga keluar rumah sakit yang seharusnya tinggal beberapa hari itu terpaksa ditangguhkan, berhubung kadar gula yang masih tinggi.
AKOMODATIF
Di situlah pentingnya kesadaran kontrol medis ketika mempertimbangkan bawaan, bukan sekedar berpijak pada kasihan. Sedikit capek tidak apalah mencari informasi yang bertalian pantangan pasien. Itu pun bila peraturan rumah sakit memberi lampu hijau. Soalnya ada juga yang sangat ketat, walaupun jumlahnya tidak banyak. Sampai-sampai lemari pasien pun diperiksa petugas setiap hari, takut kalau-kalau menyimpan makanan yang dilarang.
Dengan kemauan itu saja, seorang pelayat telah memperlihatkan tanggungjawab moral. Makanan yang dibawanya tidak sekedar untuk menyenangkan, tetapi benar-benar diniatkan, agar sedikit-banyak bisa menjadi obat. Hatinya terdorong untuk melihat kerabatnya segera sembuh, sebagaimana yang tampak pada diri tim SAR saat menolong korban. Karena itu, dihindarinya bawaan asal-asalan.
Lain peprkara bila tujuannya sengaja untuk pihak penunggu, umumnya anggota keluarga, yang terkadang susah keluar untuk jajan, karena si pasien tidak bisa ditinggal.
Katakanlah bawaan pelayat bisa mempercepat kesembuhan, minimal satu hari ketimbang perkiraan dokter. Berarti iritlah biaya rawat nginap untuk kelas VIP bisa mencapai ratusan ribu rupiah, terlebih yang berstatus swasta.
Pernah terjadi peristiwa yang mencegangkan pada seorang balita.
Seharusnya sudah boleh pulang bila nafsu makannya sudah normal. Tetapi ini belum. Paling banyak juga tiga sendok. Akibatnya ia masih tampak pucat dan lemas, sehingga sebentar- sebentar rewel.
Sekali waktu seorang remaja datang sambil menjinjing sejenis piring plastik besar yang dibeli di pasar swalayan yang diminta adiknya. Rupanya ia pun tertarik, terlebih dengan gambar kartun yang tertera di dasarnya. Dimintanyalah sambil merengek.
Remaja itu pun tidak bisa berkutik selain menyerahkannya. Toh nanti bisa dibeli lagi, katanya.
Eh ... sebentar kemudian tumben ia minta makan sebelum waktunya dengan menggunakan alat makan yang terdiri tiga buah lubang itu. Ternyata lahap, habis pula !
Selidik-selidik ternyata bukan selera penyebabnya, tetapi alat makan aluminium di rumah sakit yang mungkin dirasakannya kurang sreg. Memang, sebagaimana yang baru disadari ibunya, ia tidak pernah makan dengan piring yang terbuat dari logam.
Sejak itu nafsu makannya tidak berubah. Setelah kelihatan sehat, tiga hari kemudian si bocah itu pun pulang.
BAWAAN DENGAN BARANG
Kejadian tersebut hendaknya dijadikan penggugah, bawaan tidak harus dengan makanan, terlebih bila masih dihadapkan pada problem-problem yang baru saja disebutkan. Barang pun, mengapa tidak, selama menunjang proses kesembuhan penyakit.
Bila mendengar kawan masuk dirawat karena kecelakaan lalu- lintas, apa salahnya produk semacam sedotan, tisue, dan perban dijadikan bawaan. Selain sifatnya universal, daya tahannya pun sangat lama. Taroklah persediaan serupa masih banyak, toh bisa disimpan untuk waktu berikutnya.
Dikatakan tisue, misalnya, yang kini muncul dengan beragam bentuk itu berhubung mudahnya debu menempel pada tubuh. Maklumlah, ukurannya sangat kecil serta mudah dibawa angin. Sehingga sebersih apa pun lantai kamar, tidak akan terhindar dari partikel yang sering membawa kuman itu.
Biasanya ketika orang harus dirawat, si penanggungjawab hanya memikirkan pokok-pokoknya saja. Pakaian, kendaraan, dan termos, misalnya. Apalagi bila dadakan serta dihadapi dengan panik. Mungkin saja barang semacam itu tidak terpikirkan. Nah bukankah bisa dijadikan kesempatan untuk dijadikan bawaan ? Lagipula tidak memerlukan resep dokter.
Secara medis, sebenarnya banyak barang yang tampak sehari-hari bisa dijadikan bawaan untuk pasien, sesuai dengan jenis penyakitnya. Hanya karena belum membudaya saja, sebagaimana makanan, sehingga kesannya sangat sedikit. Akibatnya, makanan sampai kini tetap mendominasi, meskipun kenyataan lainnya, sebagian besarnya tidak bisa dimakan oleh si pasien.
Yang penting sebelum membawanya, kita terlebih dulu harus tahu situasi, seperti bagaimana hubungannya dengan kita atau karaketer khas keluarganya ? Istilah populernya : kontrol sosial. Karena bila diabaikan, bisa-bisa yang bersangkutan merasa tersinggung, meskipun niat kita tidak perlu diragukan lagi. Gilirannya timbullan kesan atau kata yang tidak enak, seakan-akan mereka dipandang tidak mampu membelikannya.
Contoh lainnya kantong keresek. Secara medis, kita bisa membawanya, mengingat pasien akan dihadapkan pada sampah bekas yang membawa bibit penyakit, termasuk yang keluar dari badannya. Sedangkan limbah itu perlu segera dimasukkan ke dalam wadah yang rapat, sebagaimana yang bisa dilakukan pada kantong tersebut.
Pada pasien yang kurang mampu mengontrol buang air besar, mudah sekali datangnya limbah di samping kain-kain yang ikutan terkena.
Sementara kenyataan lainnya, banyak keluarga pasien yang tidak memperhatikan. Mereka baru membuang sampah bila wadahnya sudah padat. Padahal untuk mempertahankan kebersihan kamar pasien, idealnya setiap sampah yang masuk, apalagi yang mengandung bibit penyakit, harus segera dijauhkan.
BARANG SISA
Banyak pasien setelah keluar rumah sakit harus menjalani tahap rehabilitasi jangka panjang, yang untuk melaksanakannya berarti memerlukan sarana. Misalkan kursi roda untuk penderita lumpuh.
Syukur-syukur pihak keluarga bisa membeli atau menyediakannya. Bila tidak, Ya ... mereka harus bersedia memanfaatkan sarana apa adanya, walupun mungkin terasa kurang praktis. Inilah yang sering dialami kalangan tengah ke bawah.
Sungguh besar artinya bila ada pelayat bersedia mengatasi kerabat bernasib seperti itu. Apalagi disertai dorongan nurani untuk melihatnya kembali normal, bak seorang official mendambakkan atlet didikannya sembuh cedera agar bisa berlaga di arena pertandingan final bergengsi untuk mempertahankan gelar.
Hanya terkadang dalam masalah satu itu muncul fenomena non teknis, yang sesungguhnya tidak perlu terjadi, yaitu adanya sarana medis yang secara fungsional masih terpakai, tetapi terbengkalai begitu saja di gudang, malah akhirnya tidak berfungsi lagi. Karena predikatnya bekas, si pemilik merasa tidak enak menyumbangkannya dengan beberapa pertimbangan perasaan keluarga si penderita, terutama yang berstatus kerabat dan bertalian gengsi. Sedangkan dalam bentuk baru, ia merasa tidak mampu.
Entah berapa banyak sarana medis semahal itu nganggur dalam tempo lama, karena pemakainya sudah sembuh atau meninggal, malah di antaranya belum lama dipakai.
Sementara masih banyak penderita yang membutuhkan, tetapi tidak mampu membelinya, yang gilirannya setiap hari hanya bisa berperam di rumah, karena fisiknya tidak memungkinkan lagi bertandang keluar.
Rasanya bukanlah bila kondisi semacam itu dijadikan sasaran pengumpulan sarana medis oleh lembaga sosial. Tampaknya ini akan relatif mudah ketimbang mengumpulkan dana yang sepadan dengan harganya.
Yang penting, bagaimana menciptakan kondisi psikologis sedemikian rupa, sehingga tiada pihak yang merasa risih memberi atau malu menerimanya, walaupun barangnya bekas.
UANG
Mungkin saja semua itu, karena satu dan lain hal, bisa dilaksanakan. Sebab itu, uang sajalah, sebagaimana yang juga sudah mentradisi.
Sering kita lihat pasien susah tidur. Padahal tuntutan terapinya mengharuskannya banyak istirahat, berhubung tidur yang cukup pun termasuk salah satu obat penting yang berlaku untuk banyak jenis penyakit.
Mendingan bertalian dengan penyakit, sehingga bisa diberi obat penenang setelah disetujui dokter. Tetapi terkadang justru karena memikirkan biaya pengobatan. Setiap saat itu saja yang dirisaukan. Apa jadinya bila kebetulan penyakitnya sudah kronis ?
Nah ... untuk pasien yang menghadapi problem sebangsa itu kiranya bawaan dengan uang perlu dipertimbangkan oleh para pelayat.
Banyak pelayat bertanya seputar barang-barang keperluan pengobatan kepada keluarga pasien, yang di antaranya ditindaklanjuti dengan membeli serta membawanya sendiri. Ini pun tidak salah dicontoh sepanjang dananya tersedia pada pelayat.
PENUTUP
Sering terdengar semboyan, Kesehatan bukan tugas pemerintah semata, tetapi seluruh masyarakat. Tentu maksudnya bukan terbatas pada kegiatan-kegiatan yang sudah lazim selama ini, juga upaya mempercepat proses pengobatan melalui sejumlah pilihan yang baru saja disebutkan.
Taroklah tiada harta/uang yang bisa dibawa. Toh mulut bisa diadalkan dengan jalan mengeluarkan kalimat-kalimat bernada sugesti, asal waktu dan kondisi pasien memungkinkan untuk diajak nngobrol. Tidak jarang pasien yang sembuh karena tutur kata yang indah, inovatif, akomodatif, dan spontan, sekaligus membawanya pada sikap yang semakin optimis.
Melihat sifat kesetiakawanan dan nilai kemuliaannya tidak kalah dengan para aktivis kesehatan, terlebih banyaknya alternatif yang bisa diterapkan, maka tiada alasan bagi siapa dengan status sosial apa pun untuk tidak terlibat di dalamnya. (Dr. H. Rachmat Sumantri, Ahli Penyakit Dalam/Ahli Penyakit Darah - Nasrullah Idris, Reformasi Sains Matematika Teknologi)