JALUR KHUSUS
ANGKUTAN UMUM DI BANDUNG

Oleh :

Dipl Ing Anzikriadi Abdul Munir
Nasrullah Idris



         SEBAGAI ibukota propinsi terdekat dengan pusat pemerintahan nasional, apalagi tidak berpantai dan bernilai historis, Bandung menjadi daya tarik tersendiri bagi seluruh etnis di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Seolah-olah ia menjadi miniatur pluralisme Indonesia setelah Jakarta. Hampir tidak ada etnis yang tidak terwakili di sini. Ditambah lagi dengan keramahan penduduk aslinya yang membuat mereka betah, malah mengajak atau memancing familinya datang dari kampung halaman, seperti yang terjadi pasca lebaran.

         Akibatnya Bandung menjadi daerah terpadat di tanah air, terutama siang hari karena penduduk beberapa wilayah terdekatnya, malah sampai radius 60 km, mempunyai akses ekonomi ke sini. Akhirnya sekarang ini jadilah Bandung sebagai sosok yang sarat dengan problematika, khususnya transportasi.

         Meskipun otonomi sudah berjalan, yang secara teoritis bisa merangsang penduduk Bandung untuk hijrah, membangun daerah lain di seluruh pelosok Nusantara, khususnya yang mempunyai kekayaan alam yang tinggi, tetapi penduduknya sedikit, kenyataannya tidak sesederhana itu.

INFRASTRUKTUR

         Besarnya obsesi warga di sini dalam mencari nafkah, sehingga tidak lagi mempersoalkan jauh dekatnya antara kantor dan rumah. Seolah-olah menerima pulang-pergi setiap hari dari ujung ke ujung demi kelangsungan hidup keluarga, baik dengan kendaraan pribadi, umum, atau dinas. Mereka pasrah menghadapi kemacetan dalam suasana panas, berhimpitan, dan bising, karena tidak ada jalan lain lagi.

         Tetapi ironisnya banyak dari mereka yang berasumsi, problem rutinitas transportasinya akan teratasi bila memiliki mobil sendiri. Pemikiran ini umumnya muncul dari pelanggan angkutan umum.

         Maka mulailah berpikir untuk memperolehnya, sementara dealer aktif mempromosikan mobil melalui beragam brosur iklan maupun keikutsertaan dalam pameran. Jadi kloplah.

         Apa memang demikian? Tidak seluruhnya benar.

         Justru ketika berhasil mengwujudkannya berarti otomatis menambah jumlah kendaraan.

         Masa bulan madu transportasi yang dibayangkan sebelumnya bisa berlangsung lama, ternyata hanya beberapa minggu saja. Kemudian terasalah beban baru, menuntut kesabaran dan kecermatan menyetir, ketika menghadapi antrian panjang di tempat parkir sampai POM Bensin. Belum lagi gerutu/hujatan supir lain hanya karena kecerobohan sepele. Kesadaran akan kelebihan angkot pun suka tidak suka harus diakuinya.

         Hadirnya sebuah mobil pribadi yang ditumpangi sendiri saja telah menyedot areal sekitar delapan meter persegi. Bandingkan dengan angkot, yang per penumpangnya hanya setengah meter persegi saja.

         Logika kalkulasi matematis sederhananya begini :

         Taroklah di Bandung ada 10.000 angkot dan 10.000 sedan. Berarti areal yang terpakai untuk semuanya sebesar 160.000 meter persegi bila rata-rata luasnya 8 meter persegi.

         Kalau saja 5.000 pelanggan angkot beralih haluan, masing-masing membeli sebuah sedan, akan terjadi penambahan areal sebesar 25 persen. Karenanya jangan heran bila mereka suatu kali merasakan perubahan suasana perjalanan seperti di prapatan jalan, mall, dan gerbang tol. Untuk jarak dekat saja memerlukan waktu beberapa menit lebih lama ketimbang masih menjadi pelanggan angkot.

         Itu baru satu macam efek. Lainnya akan muncul dengan keragaman tingkat korelasi serta di antaranya bersifat berantai. Beban jalan menjadi lebih berat karena semakin tingginya frekwensi kendaraan lewat dan semakin lamanya kendaraan harus diam. Resikonya apalagi kalau mempercepat kerusakan.

         Bukan sampai di sana. Interaksi satu sama lain menyertainya pula. Syukur-syukur seluruhnya memberikan nilai tambah. Tetapi kenyataannya kan tidak. Sebagiannya bersifat "counter productive" dan "tumpang-tindih".

         "Panjang jalan tidak sebanding dengan jumlah kendaraan" sering dijadikan senjata untuk menetralisir hal demikian. Padahal tidak selalu benar. Bagaimana pun kekuatan maupun kelayakannya kalau tidak diimbangi dengan faktor infrastruktur di samping kedisiplinan akhirnya akan sama juga, menimbulkan kemacetan.

         Padahal kita tahu, kemacetan akan menyebabkan uang, waktu, dan tenaga terkuras dengan percuma. Masa untuk pulang dari/pergi ke kantor saja di Bandung bisa menghabiskan waktu sampai satu jam. Bukankah ini akan membuat stamina terkuras sehingga mempengaruhi pekerjaan? Masa umur mau dihabiskan untuk itu, bak orang mancing ikan sambil duduk berjam-jam, tetapi hasilnya sedikit.

         Lalu sampai di kantor tidak langsung bekerja karena harus menyegarkan fisik dulu : membersihkan debu muka, menyisir rambut kusut, sampai membedaki pipi buram. Akhirnya produktivitas pun menurun, jam kerja yang efektif tidak lagi sesuai dengan kebijaksanaan, meskipun datang masih tepat waktu. Ini jelas tidak diinginkan oleh karyawan maupun perusahaan. Dalam skala besar akan mengganggu pertumbuhan ekonomi.

         Belum lagi para buruh dengan upah minim yang harus menghabiskan waktu sampai empat jam perjalanan pulang-pergi. Karena tuntutan jadual majikan, mereka tidak mempunyai waktu cukup untuk beristirahat. Baru dirasakan akibatnya ketika penyakit akut menyerang serta mengharuskannya mengeluarkan biaya tinggi. Celakanya bila sebagian besar penghasilannya harus mengalir untuk dokter, rumah sakit, dan apotik.

         Tentu akan lain ceritanya bila infrastruktur transportasi dilakukan secara menyeluruh, memperhitungkan semua variabel yang prima serta interaksinya satu sama lain, terutama yang berdampak signifikan.

         Dalam kaitan mengurangi kemacetan, misalnya, tidak bisa hanya meminta pemilik kendaraan pribadi untuk mengurangi penggunannya ke kantor, sekolah, atau supermarket. Bisa saja menggunakannya karena rute angkutan umum tidak mewakili rutinitas transportasinya.

         Begitu juga di berbagai pusat keramaian. Meskipun terjangkau kendaraan umum, ada sebagian masyarakat yang lebih senang mendatanginya dengan kendaraan sendiri hanya kerena jalur angkotnya tidak praktis dilihat dari tempat tinggalnya masing-masing, terutama mereka yang mengalami kelainan pada fisik atau dihadapkan persoalan segera selesai. Ojek/becak yang ditunggu kebetulan tidak lewat, menggunakan angkot pun harus berjalan dulu, akhirnya terpaksa mengeluarkan kendaraan dari garasi.

         Alasan lainnya, jaminan angkutan umum yang belum tentu tersedia setiap waktu. Ini jelas merepotkan bila urusan baru selesai pada tengah malam. Mau menyetop taksi, tarifnya beberapa kali lipat.

         Jadi tidak semuanya berlatar belakang gengsi.

ANGKUTAN MASSAL ALTERNATIF

         Okelah, sekarang masih bisa diatasi alias masih dalam toleransi. Anggap saja belum perlu mengikuti jejak Jakarta dengan buswaynya meskipun tingkat kepadatan kota metropolitan itu masih di bawah Bandung.

         Tetapi bagaimana pada satu dekade mendatang? Yaitu ketika kemacetan tidak bisa ditolerir lagi di samping membengkaknya populasi penduduk. Sedangkan mencari area untuk penambahan jalan/pembangunan rumah semakin sulit.

         Karenanya perlu dipikirkan angkutan massal alternatif untuk memobilisasi masyarakat Bandung dalam waktu bersamaan dengan jumlah atau kapasitas yang banyak serta aman, nyaman, murah, cepat, informatif, nonstop, dan tepat.

         Ia harus sanggup menghubungi titik-titik regional yang tingkat huniannya sangat padat ke tempat-tempat transit serta ke tempat-tempat tujuan akhir.

         Adanya jalur khusus angkutan umum mau tidak mau harus tersedia kelak di mana hanya jenis kendaraan itu saja yang boleh melewatinya. Dalam hal ini setiap rute angkutan umum harus bisa saling melengkapi dan berfungsi optimal pada perannya masing-masing.

         Pokoknya memerlukan sistem transportasi komprehensif yang mencakup seluruh kawasan. Kalau pun harus berjalan dulu ke tempat perhentiannya, jaraknya tidak terlalu jauh. Studi kelayakan seperti inilah yang harus dilakukan, mencakup perilaku jalan kaki pada masyarakat Bandung.

         Bila kenyataannya nanti hal itu dirasakan praktis oleh siapa pun, penduduk Bandung tentu tidak perlu ngotot lagi, dalam artian, memaksakan diri menyetir kendaraannya sendiri meskipun tahu betul akan adanya kemacetan. Apalagi bila mereka sadar, kehadiran jalur khusus angkutan umum membuat mobil pribadinya pada jalur lain sering dihadapkan pada kemacetan.

         Selanjutnya memikirkan tentang kapasitas penumpang per kendaraan. Karena ini berkaitan erat dengan beberapa hal seperti lebar jalan dan tenggang waktu.

         Demikian demikian, masyarakat akan semakin selektif/berhitung dalam menggunakan kendaraan pribadinya. Hanya dipakai bila dalam keadaan mendesak.

         Secara psikologis, mereka yang sebelumnya terbiasa gengsi pun akan menjadi percaya diri, karena terpengaruh banyaknya orang yang berkecukupan, tetapi tidak malu menggunakan angkutan umum.

PETUTUP

         Yang penting, sebagaimana yang sudah diisyaratkan di atas, apa pun terobosan transportasi massal yang diambil tetap harus dihadapi dengan perencanaan yang komprehensif. Jangan sampai keinginan memecahkan masalah transportasi menghasilkan permasalahan baru hanya kerena tersandung oleh kerikil sepele yang kurang diperhatikan.

         Memang tidak mudah mencari jalan tengah berdasarkan kondisi multi kompleks tersebut, termasuk juga sisi politik, ekonomi, sampai budayanya. Setiap keputusan harus mewakili setiap aspek signifikan. Diperlukan banyak/ragam pakar merumuskan solusinya yang terbaik.

         Taroklah jalur khusus sudah terwujud secara lengkap. Namun tetap belum bisa dikatakan sempurna bila tidak didukung oleh sistem distribusi informasi seperti rute, denah, dan jadualnya.

         Ingat, salah satu penyebab kemacetan adalah banyaknya orang memanfaatkan angkutan umum lebih dari satu macam trayek untuk satu tujuan. Padahal kalau mereka tahu rutenya tentu cukup satu kali saja. Penulis sendiri pernah mengalaminya. Yang seharusnya tiba di rumah famili menjelang berbuka puasa bersama, ini malah sampai 30 menit pasca adzan maghrib.

         Tetapi bagaimana mau tahu kalau sumber informasinya tidak tersedia. Bukankah ini sama saja dengan meningkatkan frekwensi penghentian kendaraan serta gilirannya bisa mempengaruhi atau menciptakan kemacetan.

         Bagi para pendatang sementara dari luar kota, kemungkinan itu lebih besar. Mereka hanya diberitahu, untuk pergi ke sana naik jurusan ..., berhenti di ..., serta nyambung ke jurusan ..., akhirnya berhenti di ... Syukur-syukur tiba juga di tujuan. Celakanya bila tersesat karena mereka bingung mau berhenti di mana atau si supir lupa menghentikan angkotnya.

         Masa untuk menuju Jl Setiabudhi (Ledeng) dari Jl Inggit Garnasih (Ciateul) harus menumpang jurusan Kelapa-Cicaheum dulu, kemudian berhenti di Jl Ir H Juanda (Dago) untuk menaiki jurusan Cicaheum-Ledeng. Padahal cukup sekali dengan jurusan Kelapa-Ledeng, sehingga uang, waktu, dan tenaga bisa dihemat.

         Sampai kini informasi yang tertulis di dinding kendaraan umum hanya untuk nama jalan/wilayah terkenal. Itu pun hanya satu dua nama saja. Padahal yang dilalui bisa sangat banyak untuk suatu trayek. Akhirnya konsentrasi supir sering diganggu oleh pertanyaan, "Pir, melewati Jl ... nggak?" atau "Pir, lewat mana saja?". Syukur-syukur dijawab cepat. Tetapi tidak jarang supir berpikir lama, bingung, sementara pikiran lainnya tertuju pada setir, gas, dan rem, belum lagi penumpang yang minta berhenti tiba-tiba. Padahal riset mana pun menunjukkan, kurang konsentrasinya supir sedikit-banyak telah memberi saham bagi kecelakaan lalu-lintas di banyak negara.

         Hendaknya hal seperti itu tidak dipandang dengan sebelah mata oleh pihak-pihak kompeten, khususnya ketika angkutan massa yang dimaksud menjadi kenyataan. Bila dirasakan keberatan karena harus mengeluarkan anggaran lagi, toh bisa memanfaatkan sponsor. Artinya, biaya produksi brosur, buku pintar, stiker yang berisi informasi seputar angkutan itu dibebankan pada perusahaan yang ingin mengiklankan produknya. Jadi instansi perhubungan tidak perlu mengeluarkan anggaran, tinggal menginstruksikan stafnya menjadi negosiator.

         Demikianlah pemikiran alakadarnya dari penulis untuk pemerintah kota Bandung. Semoga bisa dikunyah, agar terasa kekurangan, tantangan, peluang, dan kelebihan pada tulisan ini. (Dipl. Ing. Anzikriadi Abdul Munir, mantan Ketua Persatuan Pemuda Muslim Eropa cabang Berlin - Nasrullah Idris, Reformasi Sains Matematika Teknologi)
Assalamualaikum Wr Wb

Salam Merah Putih

    Nasrullah Idris, peneliti sebuah studi yang saya namakan dengan Reformasi Sains Matematika Teknologi. Intinya, mengkaji sesuatu yang menurut pengamatan atau pengalaman saya, belum menjadi pemikiran kebanyakan orang. Sifatnya inspirasional, bukan operasional.

    Mohon saran, kritikan, atau koreksiannya. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

Terima kasih.

Wassalamualaikum Wr Wb

Nasrullah Idris