IDEALNYA TURKI ITU MELEBIHI JEPANG
TETAPI KENAPA TIDAK

Oleh :

Dipl. Ing. Fauzi Lubis
Nasrullah Idris



         TURKI merupakan negara pertama yang ingin memodernisir wilayah timur. Hal ini ditunjang oleh perhatian para reformernya, yang sejak berabad-abad sangat jelas serta menjadi sorotan sebagian besar negara di Asia. Namun ternyata dalam pelaksanaannya gagal. Turki belum berbicara banyak.

         Sedangkan Jepang yang memulainya jauh lebih kemudian, hasilnya sekarang sangat mengagumkan, malah mampu menandingi enam negara industri raksasa di dunia.

         Mengapa Turki gagal ? Padahal ia, satu-satunya negara di Asia yang sebagian daratannya berada di wilayah Eropa, yang tentu masyarakatnya sangat intim dengan barat, gudangnya negara industri

         Turki pun pernah menjadi super sekitar dua abad, dengan wilayah kekuasaan yang sangat luas, serta terbentang dari Asia, Afrika, sampai Eropa. Ditambah lagi dengan persenjataan yang kuat di masa-masa yang lampau, yang para panglimanya sekarang tertulis dalam berbagai sejarah dunia.

         Pada masa dinastinya pun Turki dianggap sebagai gudang cendekiawan dan ilmuwan yang menganjurkan, supaya Turki menjadi suatu negara yang maju serta penuh dengan pengaruh-pengaruh ilmu pengetahuan. Tetapi sampai sekarang tetap saja gagal.

         Sedangkan Jepang bisa langsung berhasil tanpa suatu halangan. Padahal letaknya jauh sekali dari Eropa. Masyarakatnya pun pada awalnya hanya sedikt yang berhubungan dengan Eropa. Paling juga korps diplomatik.

         Sebaliknya, ada puluhan ribu orang Turki yang berhubungan dengan masyarakat Eropa. Sebaliknya, banyak orang Eropa berlibur ke Istambul. Keduanya dengan frekwensi dan komunitas yang tinggi, yang berarti saling mentransfer peradabannya masing-masing, khususnya di bidang ilmu pengetahuan, karena keduanya memang sarat dengan itu.

         Jadi idealnya, Turki sekarang harus lebih berhasil daripada Jepang, karena jauh lebih banyak syarat yang telah dipenuhinya.

         Bila kenyataannya lain, berarti terdapat kondisi persyaratan yang hilang dari Turki, tetapi masih utuh di Jepang, yang justruu menjadi penentu.

         Seandainya kita beralih pada perbandingan aspek budaya keduanya, justru ironis. Pasalnya, ilmu pengetahuan di Turki sudah mentradisi sejak dua belas abad yang lalu. Ribuan ilmuwan Islam yang lahir di Timur Tengah pun banyak yang berhubungan langsung dengan masyarakat Turki. Malah andil sains masyarakat Islam pada masa lampau di sana ikut andil dalam mempengaruhi ilmu pengetahuan di Eropa.

         Nah dengan latar belakang sejarah dan tradisi sains tersebut, tetap saja Turki gagal sebagai negara industri.

         Sedangkan Jepang tanpa latar belakang tersebut, justru cepat berhasil. Dewasa ini Jepang merupakan negara Asia satu-satunya yang berhasil mengalihkan ilmu pengetahuan dan teknologi barat yang demikian pesat dalam masa yang singkat pula.

         Karenanya, bila diamati, ternyata latar belakang kebudayaan itu tidak menjadi penentu. Apakah kebudayaan itu penuh dengan tradisi sains atau tidak, sama sekali tidak menjadi penentu.

         Yang menjadi penentu dalam sejarah Jepang ialah sifat golongan atasnya. Mereka membentuk suatu gerakan berupa perasaan emosi umum untuk maju, Apa yang perlu dicapai untuk kemajuan dan bagaimana untuk mencapainya ?, itulah tujuan utamanya, yakni tujuan sakral, kebangsaan. Mereka memupuk sentimen-sentimen rakyat, sehingga semangat rakyat menjadi kuat untuk berusaha mengbangkitkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan modal esensial bagi pembangunan industri.

         Konsep ini dilaksanakan oleh golongan atas Jepang, tetapi di Turki malah diabaikan serta tidak memperoleh dukungan dari penguasa dalam rangka memberi dukungan menuju suatu cita-cita nasional, sekaligus tidak merupakan suatu aliran nasional yang bisa menggerakkan semangat dan hati seluruh rakyat. Sedangkan di Jepang menjadi cita-cita nasional dengan menggerakkan serta memobilisasi hati rakyatnya.

         Dengan menciptakan sentimen tersebut, berarti menciptakan gerakan nasional berupa sifat heran : Mengapa negara mereka bisa, negara kita tidak ?

         Ingat ! Bangsa yang tidak bisa menimbulkan sifat heran akan susah maju, sebagaimana yang terbukti dalam sejarah.

         Ketika Belanda untuk pertama kali mendaratkan kapalnya di Jepang, kesan yang muncul pada penduduk pribumi sungguh luar biasa. Mereka heran bercampur kagum, karena belum pernah melihatnya sekalipun. Dengan sifat herannya, melalui renungan, pendidikan, dan inovasi, akhirnya mereka ingin membuat kapal yang demikian juga. Berapa banyak pabrik kapal yang berdiri di sana, yang produksinya di ekspor ke berbagai negara.

         Tetapi ketika Inggeris mendatangkan lokomotif ke India, sikap penduduknya biasa-biasa saja. Padahal kehadirannya bak binatang malam yang berkeliaran dari kampung ke kampung. Perhatian penduduk banyak tertuju pada perilaku kaum kolonial yang menumpanginya. Sedangkan lokomotif dipadang mereka sebagai senjata yang menakutkan. Jarang tersirat inisiatif untuk bertanya, minimal pada temannya tentang bagaimana kendaraan tersebut tercipta, malah sampai berada di negerinya ?

         Lain lagi dengan suku-suku di Papua Nugini. Ketika melihat pesawat terbang di atas, rasa herannya muncul luar biasa. Sayangnya, semua itu ditafsirkan secara mistik dengan mengacu pada falsafah nenek-moyangnya. Mereka menafsirkannya sebagai burung kayangan yang luuar biasa. Itu saja, tanpa tindak lanjut berupa spirit untuk mencontohnya, karena menurut mereka, itu mustahil bisa dilakukan manusia. Akhirnya selama kurun waktu yang panjang, mereka tertinggal jauh dalam industri dirgantara. Malah sampai kini pun, Papua Nugini belum memiliki pabriknya. Padahal dilihat dari sumber daya manusia, semangat kerjanya luar biasa, tidak kalah dari penduduk Jepang. Ini bisa dibuktikan dari kerajinan tangannya yang hanya bermodalkan serana yang serba sederhana. Itulah akibat sikap aneh yang tidak disalurkan secara rasional.

         Karenanya jiwa yang dangkal dari rasa heran akan susah untuk membangun bangsanya. Apalagi tanpa berusaha mencari referensi dari kemampuan bangsa lain. Laju pembangunannya pun mungkin akan seperti penyu yang merangkak perlahan-lahan, bukannya kangguru yang melompat-lompat.

         Lihatlah orang yang ke bulan, peristiwa yang telah menjadi berharga dalam sejarah manusia. Masyarakat yang tidak merasa heran jelas tidak merasa takjub. Mereka tidak merasa bahwa itu peristiwa yang besar, malah mungkin tidak merasa apa-apa. Pemikiran dangkal seperti itu jelas tidak akan memajukan bangsanya.

         Adanya budaya heran pada masyarakat Jepang, sekaligus didukung penguasanya, telah membangkitkan budaya industri, yakni mengubah potensi yang ada menjadi bernilai tambah yang berlkipat ganda, pada diri mereka.

         Dengan pengetahuan yang mereka peroleh dari bangsa-bangsa lain, plus hasil pemikiran bangsanya sendiri, kemuudian ditransformasikan pada potensi negerinya dan mental industri pada dirinya, muncullah berbagai produk yang cukup bersaing secara global.

         Meskipun Jepang pernah porakporanda akibat Perang Dunia, namun berkat budaya industri pada masyarakatnya, maka dalam kurun waktu singkat, negeri itu kini berhasil menjadi macan ekonomi dunia. Malah bisa bersaing secara ketat dengan sejumlah negara industri, termasuk kelompok yang pernah mengalahkannya dalam Perang Dunia.

         Sayangnya, pemimpin Turki, Attaturk tidak besar pengaruhnya di situ. Potensi negaranya dengan tradisi sains yang merupakan modal ampuh bagi pembangunan industri, tidak begitu digubrisnya sebagai gerakan nasional. Ia membenci golongan agama dan memecah antar golongan. Sedangkan pemimpin Jepang, termasuk rajanya, menyatukan semua potensi yang ada. Mereka tidak ingin menghapuskan bahasa Jepang dan huruf kanji, serta diganti dengan tulisan Latin. Sedangkan Attaturk sebaliknya, yang justru membuat Turki sampai sekarang tidak mampu berkompetisi secara global dalam perindustrian. (Dipl Ing Fauzi Lubis, alumnus Technische Universiteit, Berlin, Jerman - Nasrullah Idris, Reformasi Sains Matematika Teknologi)
Assalamualaikum Wr Wb

Salam Merah Putih

    Nasrullah Idris, peneliti sebuah studi yang saya namakan dengan Reformasi Sains Matematika Teknologi. Intinya, mengkaji sesuatu yang menurut pengamatan atau pengalaman saya, belum menjadi pemikiran kebanyakan orang. Sifatnya inspirasional, bukan operasional.

    Mohon saran, kritikan, atau koreksiannya. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

Terima kasih.

Wassalamualaikum Wr Wb

Nasrullah Idris