TERNYATA BANYAK ALUMNUS SMA GAGAP TERHADAP
HITUNGAN "1/2 DIBAGI 1/3". SUNGGUH IRONIS!

Oleh : Nasrullah Idris & Taufan Marhaendrajana


          SEPERTI kita ketahui, hitungan seperti "1/2 dibagi 1/3" sudah diajarkan kepada anak sekolah sejak kelas IV SD (minimal), karena menyangkut sesuatu yang terhubungkan dengan realitas kehidupan, yakni perhitungan pecahan. Ini diberlakukan pada berbagai format kurikulum pendidikan untuk materi yang terkait, sehingga boleh dikata hampir semua orang yang mampu melewati jenjang SD telah dibekali perhitungan pecahan tersebut.

          "1/2 dibagi 1/3" sebenarnya perhitungan yang sangat sederhana. Namun begitu, hubungannya dengan fenomena keseharian tidaklah mudah secara langsung didapatkan. Dalam hal ini diperlukan peran besar dari para guru (dan pihak yang terkait) untuk menghubungkan fenomena keseharian yang mudah dijabarkan (contoh: 1/2 kali 3) dengan perhitungan yang "lebih sulit" korelasinya dengan fenomena keseharian (1/2 dibagi 1/3).  Dengan demikian siswa-siswa pada jenjang SD itu tidak hanya diberikan aturan atau formulasi matematika tetapi perlu juga diberikan latar belakang kenapa formulasi itu ada. Sehingga diharapkan kehadirannya bisa mencapai sasaran pengertian. Selanjutnya menjadi model perhitungan dengan faktor kesulitan setingkat yang tidak terlupakan sampai kapan pun, yang berarti telah menjadi bagian kebudayaannya masing-masing.

          Demikianlah hakikat dari tujuan kehadiran pengajaran Matematika kalau dilihat dari pendidikan sebagai sarana pembebasan dan pemecahan. Jadi terdidik maupun pendidik tidak hanya merasakan sekedar mekanisme simbol yang sudah teridealkan, juga cerminan korelasi terhadap makna aplikasinya.

          Namun untuk masalah "1/2 dibagi 1/3" ternyata tidak semua orang bisa menghitungnya dengan cepat atau mudah. Malah terjadi di kalangan lulusan SMA. Pilihlah seratus responden dengan usia 30-40 tahun di antara mereka secara acak. Lalu ajukanlah soal tersebut dengan bijaksana agar tidak sampai memberi kesan pelecehan terhadap kemampuan hitung mereka. Jangan kaget kalau anda menemukan cukup banyak dari mereka "tidak bisa", "salah", atau "cukup lambat" dalam menjawabnya. Sungguh ironis. Terlebih bila diketahui bahwa di antara mereka banyak memperoleh nilai biru untuk mata pelajaran Matematika dalam rapornya, yang secara kejujuran intelektual berarti memenuhi persyaratan untuk dikatakan mampu. Seharusnya jangan sampai terjadi pada satu responden pun. 

          Data ini peroleh berdasarkan pertanyaan langsung kepada beberapa lulusan SMA secara acak pada waktu senggang, secara serius, atau di jalan. Malah hal serupa pun pernah ditanyakan justru kepada sarjana. Walaupun akhirnya ia bisa menjawab tetapi terkesan lambat.

          Bukan itu saja. Juga berdasarkan analisis dan intuisi terhadap pola pengajaran hitungan pecahan selama ini di mana masalah hubungan "pembagi" dan "pembilang" cenderung tidak merangsang terdidik untuk memahaminya secara total.

          Referensi seputar karakteristik otak anak usia SD pun dari aspek kedokteran dan psikologi pun dijadikan bahan pertimbangan analisis/intuisi. Dikatakan bahwa kemampuan mereka  memahami dan menyerap dasar suatu materi matematika akan mengurangi resiko keterlupaan sampai mereka dewasa. Ini mengingat memori otaknya masih rawan serta lebih mudah terbentuk. 

          Dari kesimpulan itu tentu bisa memperkuat data tersebut. Minimal dijadikan warning terhadap : sejauh mana membuminya, mengkristalnya, merakyatnya, atau integrasinya hitungan pecahan dalam masyarakat Indonesia? Karena ini sekaligus bisa menjadikan ukuran peradaban Matematika itu sendiri. 

          Saat Matematika mengalami perkembangan pesat dewasa ini melalui isyarat sains/teknologi, kenyataannya masih banyak saudara kita yang tamatan SMA belum mampu berintegrasi dengan berbagai perhitungan produk pengajaran SD.

          Apakah karena itu pula sehingga banyak orang tua yang mengalami kesulitan ketika si anak memintanya ikut menyelesaikan PR tentang hitungan pecahan. Bisa jadi. Hanya demi mempertahankan kredibilitas intelektual di mata anaknya maka dijadikanlah kata "sedang sibuk" atau "tidak sempat" sebagai alat untuk menghindarinya. Kalau pun masih tetap memperhatikan pendidikan anak dicarilah jalan keluarnya seperti dengan mendatangi guru atau menyuruh les.

          Bercerminlah pada para peserta program pemberantasan buta huruf. Meskipun setiap siswa memperoleh sertifikat dengan penilaian yang bagus, mereka tetap melakukan evaluasi, "Apakah saya memang sudah bisa membaca?". Kesadaran akan ancaman yang ditimbulkan pada dirinya bila tidak bisa membaca terhadap kehidupan menjadikan mereka tidak lagi memprioritaskan segala bentuk penilaian administratif.

KEMBALI PADA MASALAH POKOK

          UMUMNYA hitungan pecahan di bangku sekolah di Indonesia hanya "operasi perhitungan simbol tanpa pengertian fisik". Entah sejak kapan kebiasaan ini berlangsung. Lihat saja : penerangan jauh lebih banyak melalui penulisan ketimbang peragaan.

          Kalau minimnya peragaan dijadikan alasan rasanya kurang tepat. Toh banyak benda bisa dijadikan untuk itu. Malah semua siswa hampir setiap hari memegang benda : kertas, kueh, sampai pinsil. Kenapa tidak dimanfaatkan? Rasanya guru mana pun bisa menyuruh setiap muridnya membawa benda tertentu ke dalam kelas.

          Apa karena dianggap tidak praktis seperti penulisan di buku tulis, buku, dan papan tulis? Untuk jangka pendek boleh juga. Tetapi dampak jangka panjangnya justru telah terjadi berbagai pemborosan pendidikan. Segmen korbannya pun sungguh mengejutkan : para alumnus SMA.

          Banyak siswa tidak mengetahui secara integrasi, tuntas, dan detail akan hubungan bilangan pecahan dengan satuan. Ini sedikit-banyak bisa menimbulkan kebingungan ketika menemukan hitungan bilangan bulat dengan hasil sama. Mendingan bila dilanjutkan dengan banyak bertanya. Celakanya kalau "nrimo" saja serta sifat ini terbawa sampai jenjang pendidikan lebih tinggi. Terlebih bila para gurunya kurang memberikan kesempatan untuk menyalurkan berbagai pertanyaan sampai mengerti benar.

          Seperti kita ketahui hitungan "1/2 dibagi 1/3" dan "1/2 x 3" menghasilkan bilangan sama. Tetapi secara psikologis mempunyai faktor kesulitan berbeda. Para siswa akan merasakannya. Hanya mungkin tidak mereka ucapkan mengingat keterbatasan perbendaharaan bahasa maupun kemampuan verbal. Maklum, pengajaran Bahasa Indonesia saat itu belum mengarah ke sana.

          Hal tersebut hendaknya dijadikan indikasi "faktor kesulitan" harus menjadi perhatian serius. Karena ini akan mendorong upaya mencari alternatif untuk mengimbanginya. Kalau siswa belum paham jangan hanya dituntut untuk terus belajar. Tampilkan bentuk selain penulisan. Misalkan ya peragaan.

          Kalau saja pemahaman terhadap hitungan seperti "1/2 dibagi 1/3" bisa dicapai secara membumi akan membuat otak siswa untuk ingat sampai kapan pun. Sekaligus menjadi bagian sarana esensial bagi kemampuannya dalam penelitian, kalkulasi, dan penganalisaan di berbagai bidang kehidupan di mana ukuran pecahan akan banyak terlibat di dalamnya. Sehingga proses pengambilan keputusan mengalami efisiensi dan efektivitas.

          Karena memang tugas pengajaran Matematika bukan sekedar memasok materi kepada siswa. Juga merangsang mereka untuk mampu mengaplikasikannya pada kondisi hitungan apa pun dalam ruang lingkup pecahan. Pemahaman terhadap eksistensi pembagi-pembilang membuat otaknya bak pohon asli (kontiniu), bukannya pohon plastik (statis).

          Kami memberi contoh "1/2 dibagi 1/3" hanya untuk mengingatkan bahwa kalau untuk masalah sepele itu saja, banyak alumnus SMA yang merasa gagap, bagaimana dengan materi lanjutannya yang mereka peroleh di jenjang kelas yang lebih tinggi? Bukan berarti mereka lulus karena menyontek. Secara administratif pun memang sah. Hanya kalau mau intropeksi seharusnya mereka malu, kenapa nilai biru pada ijasahnya tidak mencerminkan kemampuan yang sebenarnya.

LATAR BELAKANG

          CUKUP banyak latar belakang sampai munculnya keironian tersebut. Kurang perencanaan dalam penulisan buku pegangannya ikut memberi andil sangat besar. Lihat saja penerbitan buku Matematika. Berapa banyak isinya dengan tampilan kurang menarik. Artinya kurang mempertimbangkan faktor : artistik lay out, ergonomis, maupun irama materi.

          Terkadang jarak nomor soal/halaman terlalu dekat dengan isi materinya. Malah ukuran dan jenisnya sama. Apa ini tidak memberikan minus point terhadap psikologis siswa?Maka tidak heran bila anak SD lebih spontan membeli kaset lagu atau komik cerita ketimbang buku pelajaran.

          Untuk penerbit, mungkin karena mengejar target bisnis. Perencanaan lay out dianggapnya menambah biaya produksi, sementara realitas pasar belum mendukung, meskipun slogan misinya tidak berubah : "Ikut Mencerdaskan Bangsa".

          Penulis pun demikian. Mungkin karena royalti yang bakal diperolehnya terasa minim, sehingga naskah yang diserahkan tidak mencerminkan perencaaan irama materi.

          Bisa juga karena kedua belah pihak memang tidak kompeten untuk hal tersebut. Sehingga polanya mengikuti yang sudah ada. Bagi mereka yang penting, sudah memenuhi persyaratan untuk dijadikan buku pegangan. Apalagi kalau dasar produktivitasnya cenderung pada bisnis semata, tanpa memperhatikan faktor industri secara serius.

          Kita tidak bisa menyalahkan semuanya pada mereka. Kebijaksanaan birokrat dalam pemerintahan tentang Matematika ikut menentukan apresiasi "raja bagi semua sains" ini. Tidak perlu jauh dulu. Jarangnya diucapkan kata "Matematika" dalam berbagai kesempatan pidato, ceramah, dan wawancara memberi indikasi akan termarjinalkannya ilmu tersebut dalam peradaban Indonesia.

          Belum lagi indikasi yang sama melalui pandangan masyarakat terhadap prospek masa depan pakar Matematika. Segmen karir ini belum memperoleh penghargaan, dukungan moril, dan kesempatan semestinya. Tidak tertutup kemungkinan alumnus jurusan ini memilih menjadi dosen bermotifkan pelarian hanya karena tidak melihat prospek aplikasi realistisnya selain itu. Sampai-sampai ada dosen dari PT terbaik di Indonesia yang mengisyaratkan kepada kami bahwa Matematika sulit dijadikan alat untuk mencari duit.

          Lingkaran itulah yang harus ditata kembali secara komprehensif yang akhirnya bermuara pada keputusan strategis.

          Berbagai pihak terkait harus aktif untuk menciptakan suasana kondusif bagi apresiasi Matematika di bumi tanah air ini, terutama dari kalangan akademis. Agar masyarakat nanti merasakan serta menikmati ilmu ini sebagai sumber peradaban mengingat di dalamnya terkandung gudang jalan pintas bagi solusi berbagai kalkulasi kehidupan. Hal ini mendorong mereka untuk mencari arah kemanfaatan dari setiap kali memperoleh materi Matematika di bangku sekolah. Bukankah orang pemilik warung baru mau membeli serta belajar kalkulator setelah ia sadar bahwa alat itu akan banyak meringankan tugas bisnisnya.

TIGA KECEPATAN

          HARUS kita akui bahwa salah satu kondisi masyarakat Indonesia ialah keterbelakangan intelektual atau keminiman prestasi di bidang IPTEK. Akibatnya kita tidak bisa melepaskan ketergantungan akan berbagai produknya dari Barat.

          Apakah harus demikian terus? Tentu saja tidak!

          Kita sejak dini harus segera melangkah lebih jauh dan melompat lebih efektif. Antara lain dengan merumuskan visi sebagai prioritas unggulan serta didukung oleh program kongkrit dan langkah strategis. Termasuk berbagai mitos conter produktif seputar Matematika.

          Terutama menghadapi era globalisasi di mana kita akan benar-benar dihadapkan pada faktor "Kecepatan Kalkulasi", "Kecepatan Analisis", dan "Kecepatan Enginering". Kalau ingin tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri di banyak bidang produksi ya kita harus melaksanakannya.

          Untuk mewujudkan "Kecepatan kalkulasi" ini, diperlukan komputerisasi formulasi-formulasi perhitungan dan metode/teknik perhitungan dalam segala bidang. Untuk melakukan hal ini tentu dibutuhkan seseorang yang mempunyai kemampuan matematika yang mantap untuk menjamin ketepatan dan keakuratan.

          Begitu "Kecepatan Kalkulasi" ini sudah dapat dicapai dengan "komputerisasi" maka "Kecepatan Analisis" dapat dicapai karena terfokusnya perhatian pada upaya-upaya analisis. Demikian halnya para ahli hanya disibukkan oleh memikirkan ide pembuatan produk tanpa disibukkan oleh perhitungan-perhitungan  yang kompleks. Pada kondisi ini "Kecepatan Engineering" akan tercapai.

          Di sini terlihat betapa pemahaman yang matematika yang mantap sebagai media dalam menerangkan dan mensimulasi fenomena-fenomena alam merupakan dasar yang sangat diperlukan dalam mencapai ketiga kecepatan di atas.         

          Menjamurnya kursus Aritmatika (Cempoa ala Jepang) di Jepang dewasa ini dalam rangka melatih hitung dalam waktu beberapa kali lebih cepat secara manual hendaknya direspon oleh pemerintah. Soalnya sampai kini masih di luar kurikulum.

          Walaupun ia lebih diarahkan kepada para siswa usia SD mengingat otak mereka masih mudah dibentuk serta dirangsang, namun perhatian sejak dini tetap harus diberikan demi invetasi SDM bangsa Indonesia masa depan menghadapi era globalisasi.


Published : 2000
Assalamualaikum Wr Wb

Salam Merah Putih

    Nasrullah Idris, peneliti sebuah studi yang saya namakan dengan Reformasi Sains Matematika Teknologi. Intinya, mengkaji sesuatu yang menurut pengamatan atau pengalaman saya, belum menjadi pemikiran kebanyakan orang. Sifatnya inspirasional, bukan operasional.

    Mohon saran, kritikan, atau koreksiannya. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

Terima kasih.

Wassalamualaikum Wr Wb

Nasrullah Idris