BELAJAR SENDIRI
SIDANG SARJANA
DAPAT GELAR AKADEMIK

Oleh : Nasrullah Idris - Harian Analisa
  
     BANYAK dari mereka yang putus sekolah itu cerdas dan potensial. Jadi sayang kalau berhenti di tengah jalan hanya karena biaya.
     Sementara komersialisasi pendidikan dalam negeri sudah semakin kentara. Sekolah benar-benar dirasakan sebagai barang mahal.
     Maka itu muncul desakan, agar pemerintah meningkatkan anggaran pendidikan.
     Okelah, kita sepakat untuk itu. Tetapi ada modus yang penulis tawarkan di sini, yaitu meminta mereka yang putus sekolah untuk belajar autodidak. Ini dengan rangsangan, bila penguasaan bidang ilmu yang menjadi minatnya sudah mencapai standar, dipersilakan mengikuti ujian. Bila ternyata lulus, yang bersangkutan berhak memperoleh ijasah yang legalitasnya disamakan dengan mereka yang memperolehnya melalui jalur formal.
     Yang penting bisa dipertanggungjawabkan secara SDM dan akademis. Sehingga siapapun yang menetapkan syarat administrasi yang berkaitan dengan ijasah, seperti dalam penyeleksian karyawan baru, benar-benar hanya berdasarkan prospek kemampuan memberikan nilai tambah, bukan dari mana ijasan diperoleh.
     Logika gamblangnya begini :
     Entah berapa banyak tamatan SMA yang keahlian/pengetahuan Sospol lewat aktivitasnya pada organisasi. Malah mampu bersaing dengan alumnus "FISIP. Hebatnya lagi, bisa terlibat dalam pengambilan keputusan skop daerah sampai nasional.
     Nah, seharusnya kan mereka bisa memperoleh ijasah, meskipun mungkin saja mereka tidak membutuhkannya. Toh tanpa itu pun, legitimasinya tidak diragukan.
BELUM BISA   

     Taroklah tidak bisa dilaksanakan karena belum ada programnya. Kenapa tidak diadakan saja? Bukankah budaya lembaga pendidikan bersifat dinamis? Buktinya "Open Univeristy". Lembaga ini sudah berjalan sejak 1991untuk merespon masyarakat yang masih ingin kuliah, tetapi karena satu dan lain hal tidak bisa ke kampus setiap hari.
     Nah, apa salahnya juga diberlakukan, yang untuk sementara kita sebutlah dengan "program ijasah terbuka"? Bila pada "open university", materi kuliah masih ditentukan, sedangkan untuk yang penulis tawarkan ini, dibebaskan pada minat selama terarah pada tuntutan pasar.
     Taroklah substansi keahlian/pengetahuan sospolnya baru sampai satu level dengan S-1. Ya berikan jugalah sarjana padanannya. Demikian juga bila sampai satu level dengan yang lebih tinggi.
     Taroklah itu tidak bisa dilaksanakan karena harus terlebih dulu berurusan dengan "sistim kredit semester" atau "proses ritual akademik". Itu sih tidak bisa dijadikan alasan. Yang penting secara substansi intelektual dan sumber daya manusia bisa dipertanggungjawabkan. Mantan Wapres Adam Malik pun tidak pernah mengenyam keduanya, karena memang hanya tamatan SMA. Tetapi kini sudah dianggap sebagai politisi legendaris yang diakui oleh sebagian besar pakar sospol.
     Taroklah pihak dari "program sarjana terbuka" mengadakan ujian bagi anggota legislatif yang hanya tamat SMA. Penulis yakin, banyak dari mereka yang lulus. Emangnya ada jaminan, lulusan FISIP otomatis lebih kredibel ketimbang mereka?
     Hanya yang membedakannya, yang bersangkutan tidak perlu lagi mondar mandir antara rumah dan kampus. Cukup memperlihatkan bukti kemampuannya di bidang tertentu.
     Program tersebut sekaligus akan membuat biaya pendidikan bisa jauh lebih murah.
     Masalah uang ujian bisa diatur kemudian melalui studi kelayakan dari para ahli perencanaan. Apakah mau memberlakukan subsidi silang, gratis total, atau biaya murah?
     Taroklah tetap tidak bisa juga! Di mana letak logika tidak bisanya?
MAHASISWA MANDIRI
     Cobalah tanya para mahasiswa yang sudah lulus, apakah ilmu yang dimilikinya seratus persen diperoleh dari dosen? Pasti hampir semuanya menjawab tidak. Sebagiannya mengaku belajar sendiri.
     Malah ada seorang kerabat, sebutlah Fulan, yang jarang kuliah di sebuah universitas terkenal di Jakarta, karena statusnya sebagai karyawan di sebuah perusahaan, yang setiap hari pulang ke rumahnya di atas pukul delapan malam. Tetapi ia selalu memperoleh nilai bagus setiap kali mengikuti ujian, yang materi pelajarannya didapati dari sang kawan. Akhirnya ijasah pun dikantonginya dengan nilai yang membanggakan.
     Ia membayar uang kuliah secara penuh setiap semester, sebagaimana rekan-rekannya yang kuliah setiap hari. Untuk ukuran nilai uang sekarang bisa disamakan dengan empat  juta rupiah. Belum lagi uang ujian per mata kuliah.
     Nah, mari kita bertanya secara jernih, bukankah substansi yang dilakukannya mirip dengan gagasan yang penulis maksud? Ia terpaksa belajar autodidak di rumah, karena tuntutan mencari nafkah, termasuk untuk biaya pendidikannya itu.
     Bila saja pemerintah membetuk program ijasah terbuka, tentu Fulan tidak perlu menghabiskan gaji bulannya untuk itu. Cukup mengajukan proposal yang berisi keterangan bahwa ia sudah sekian lama belajar pelajaran tertentu, serta siap diuji. Ini secara tidak langsung berarti pemerintah telah menolongnya dalam pengeluaran yang secara ekonomi, tidak perlu terjadi.
     Kita ambil contoh lainnya. Taroklah untuk menjadi sarjana di sebuah perguruan tinggi terkenal, seorang mahasiswa, harus memenuhi 100 SKS. Biaya yang harus dikeluarkan untuk menyelesaikannya mencapai 20 juta rupiah. Berarti rata-rata untuk setiap SKS adalah 200 ribu rupiah.
     Tetapi materi pelajaran yang berkaitan dengannya, sebagian besar diperoleh dari internet, seperti dari mahasiswa program S-3 mancanegara, diskusi miailing list, download artikel, dan browsing dengan fasilitas search, di samping textbook. Padahal untuk mengaksesnya cukup membayar pulsa telepon saja. Sedangkan yang diperoleh dari kampus, hanya sebagian kecilnya. Apalagi sejumlah dosennya sering tidak sempat masuk kelas, karena ada urusan eksternal, seperti seminar, proyek, sampai wawancara, sehingga mereka cukup memberi perintah baca ini baca itu, plus tugas yang harus diselesaikannya.   
     Marilah kita hitung berdasarkan pelajaran Matematika sekolah dasar.
     Misalkan dari jumlah ilmu yang membuatnya menjadi seorang insinyur, hanya tiga puluh persen yang diperoleh dari dosen. Selebihnya eksternal kampus. Seharusnya kan ia cukup membayar enam juta rupiah.
     Membaca semua contoh di atas, wajar bila banyak pihak mengatakan, sesungguhnya yang mahal itu bukan pendidikan, tetapi ijasah yang memberikan legitimasi seseorang telah mengikuti program pendidikan. Emangnya ilmu akan otomatis berkurang hanya karena tidak memperoleh ijasah? Malah urgensi ijasah pun akan jauh berkurang bila si empunya sudah berjanji akan mengaplikasikan ilmu yang ia peroleh dalam wiraswata.
     Di sinilah pentingnya pemerintah melakukan terobosan pendidikan segera, seperti memberi rangsangan kepada siapa pun untuk memperoleh pengakuan terhadap ilmu yang dimilikinya, serta bisa dipertanggungjawabkan secara akademik dan SDM.
     Dengan demikian, mereka yang putus sekolah akan kembali bergairah menuntut ilmu, sesuai dengan minatnya masing-masing, meskipun tidak melalui jalur formal serta dilakukan di mana dan dengan cara saja. Karena yang penting di sini menciptakan kualitas bangsa, sekaligus mampu bersaing serta memberikan nilai tambah bagi kesejahteraannya masing-masing. Selanjutnya pemerintah memberikan ijasah setelah melewati uji kelayakan oleh tim juri yang dipilih secara ketat, terbebas dari praktek manipulatif, suap, dan subjektif.
     Idealnya tersedia fasilitas fisik pendidikan bagi mereka dalam rangka mencerdaskan bangsa. Konstitusi pun merekomendasikan anggarannya minimal dua puluh persen.
     Tetapi harus diakui, untuk mencapai itu memerlukan proses, yang   realisasinya tidak bisa ditentukan. Apalagi dalam era yang dinamika ekonominya sangat fluktuatif, sementara hutang kita sudah menumpuk.
     Nah sambil itu berjalan, segeralah lakukan mobilisasi belajar autodidak sambil membentuk program sarjana terbuka.
     Memang pada mulanya antusias masyarakat menyikapi hal itu tidak seperti terhadap jalur formal. Perlu waktu panjang untuk mengkristalisasikannya. Maklumlah, masyarakat cenderung berpikir dua kali untuk sesuatu yang dirasakannya masing asing. Tetapi minimal bisa menjaring mereka yang menganggap pentingnya pendidikan sebagai jembatan menuju perbaikan, yang berarti kredit point bagi tingkat kecerdasan bangsa. Apalagi bila presiden aktif menggelorakan sentimen kebangsaan pada berbagai kesempatan. Misalkan dengan menyatakan, "orang bodoh akan jadi mangsa orang pintar" atau "Barang jadi mahal karena ada orang bodoh".
     Siapa tahu adanya kebijaksanaan itu muncul sosok potensial bagi   pembangunan bangsa di kemudian hari. Sejarah mencatat banyaknya pemimin bangsa lahir di daerah pedalaman di mana kedua orangtuanya mengalami kesulitan untuk membiayai anak-anak bersekolah.
     Apa yang penulis tawarkan tidak bermaksud untuk membangun tradisi mengagungkan gelar akademik. Bukan itu. Tetapi benar-benar atas pertimbangan realitas banyaknya orang putus sekolah tidak mau belajar autodidak karena atas dasar asumsi tidak adanya kepastian pengakuan dalam bentuk ijasah. Sementara mereka melihat kenyataan pentingnya sertifikat tersebut dalam meniti karir.
     Memang bila dilaksanakan akan mempengaruhi atau menurunkan posisi tawar sejumlah pihak yang menjadikan lembaga pendidikan yang dimilikinya sebagai lahan bisnis. Tetapi apa boleh buat, ini menyangkut amanat konstitusi tentang upaya mencerdaskan rakyat banyak yang merupakan kebutuhan vital dalam menghadapi berbagai bentuk persaingan dunia.
     Harus kita akui, pendidikan di Indonesia sudah sangat terpuruk. Sejumlah negara Asia yang SDM-nya masih memperhatinkan pada belasan tahun yang lalu, sekarang mampu melangkahi kita.
     Antisipasinya tidak bisa lagi dengan jalan gradual. Soalnya ketika kita melangkah satu tahap, negara luar melangkah dua tahap atau malah lebih. Berarti memperpanjang kesenjangan.
     Jadi mau tidak mau perlu percepatan strategis melalui "creation and employment of education system". Adanya program sarjana terbuka kiranya bisa dijadikan salah satu alternatif untuk itu. Semoga saja menjadi pertimbangan presiden!  (Nasrullah Idris, Bidang Studi : Reformasi Sains Matematika Teknologi)
Assalamualaikum Wr Wb

Salam Merah Putih

    Nasrullah Idris, peneliti sebuah studi yang saya namakan dengan Reformasi Sains Matematika Teknologi. Intinya, mengkaji sesuatu yang menurut pengamatan atau pengalaman saya, belum menjadi pemikiran kebanyakan orang. Sifatnya inspirasional, bukan operasional.

    Mohon saran, kritikan, atau koreksiannya. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

Terima kasih.

Wassalamualaikum Wr Wb

Nasrullah Idris